Sulak Buatan Pak Slamet (Gambar Milik Pribadi) |
Sembari berjalan melewati jalur pejalan kaki, ada
yang menarik perhatian saya dan calon suami saya saat itu. Di tengah
hiruk-pikuk alunan music dari drumband anak-anak karnaval yang sedang melewati
jalan Malioboro terlihat ada pria senja yang sedang duduk di depan gerbang kantor
Kepatihan Yogyakarta.
Yaa, kalau di Jogja kantor Gubernurnya berada di
pusat belanja sekaligus pusat wisata Malioboro. Jadi sangat tidak mengherankan
jika banyak pedagang kaki lima yang menjajakan daganganya di depan gerbang.
Sebenarnya apa yang menarik perhatian saya dari pria senja ini? Beliau
mengingatkan saya kepada kakek saya, dengan usianya yang sudah tidak pantas
lagi untuk berjualan. Beliau malah dengan wajah bahagia menjajakan dagangannya
saat itu.
Pak Slamet (Gambar Milik Pribadi) |
Pak Slamet namanya. Beliau berasal dari Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah. Sebuah kota yang jaraknya kira kira bisa menempuh setengah
jam perjalanan dari pusat Kota Jogja. Beliau menjual sulak. Sulak atau yang kita kenal
dengan kemoceng atau duster dalam bahasa inggrisnya merupakan piranti kecil
yang sederhana, tetapi fungsi dan manfaatnya luar biasa dalam berperan sebagai
pencipta keindahan rumah yaitu kebersihan, membersihkan debu, abu dan
lain-lain. Biasanya sulak ini terbuat dari bulu, raffia, kain, woll dan diberi
gagang untuk pegangan.
Sulak atau kemoceng ini adalah kerajinan turun
temurun dari negeri Cina. Tetapi di Indonesia sudah banyak juga pengrajin
sulak, termasuk Pak Slamet. Berbicara mengenai rezeki memang semua itu
datangnya dari Tuhan. Tapi manusia tetap harus berusaha untuk menjemput, karena
rezeki tidak akan datang tiba-tiba. Oleh karena itu, Pak Slamet yang kelahiran
tahun 1937 ini setiap hari minggu selalu berkunjung ke Kota Jogja untuk menjual
hasil kerajinan yang di buatnya setiap hari bersama Mbah Uti, sebutan untuk
istri kesayangannya.
Sulak Pak Slamet (Gambar Milik Pribadi) |
Kakek yang kini usianya sudah mencapai 82 tahun
ini biasanya menjual barang dagangannya di daerah sekitar jalan Malioboro saat
pagi hari, ketika sudah menjelang siang sekitar pukul 11.00 WIB, beliau akan
pindah lapak ke area tengah pasar Bringharjo. Dengan berjalan kaki, hanya
menggunakan topi dan sandal jepit sederhananya serta harapan yang kuat agar
bisa mendapat rezeki hari itu beliau kuat berjalan memikul sulak-sulak yang
dijualnya.
Saya dan calon suami saya sempat bercengkerama
dengan beliau yang murah senyum ini. Dengan sumringah beliau menjawab ketika
saya bertanya bapak ke Jogja naik apa? “Saya naik bis dari Klaten jam 9 pagi,
turun di Janti terus oper naik trans Jogja ke Malioboro. Nanti jam setengah 4
sore baru pulang lagi,” tuturnya.
“kalau dulu waktu masih
muda tahun 70-80an saya jualannya jauh-jauh sampe ke Purwokerto, Blora, Cepu, Ngawi.
Daerah Jawa Timur sana” ujar kakek dari 10 orang cucu ini.
Pak Slamet di depan Gerbang Kepatihan (Gambar Milik Pribadi) |
Beliau juga bercerita
kadang dengan berjualan sulak belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
sehari ia berjualan hanya laku 10-12 buah sulak. Kadang pernah ia pulang hanya
dengan tangan kosong saja. Tetapi ia tak pernah pantang menyerah untuk tetap
berjualan demi kelangsungan hidupnya. Semoga Pak Slamet selalu dalam Lindungan
Allah dan selalu di berikan kesehatan yang baik agar bisa tetap terus berjualan
sedia kala. Bagi teman-teman yang mempunyai waktu senggang di Hari minggu,
main-mainlah ke Malioboro sambil menikmati pagi yang indah di Jogja, jangan
lupa jika melihat Pak Slamet, lariskan dagangannya yah. *dpm*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar